www. alumnifatek.forumotion.com
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www. alumnifatek.forumotion.com


 
IndeksIndeks  PortailPortail  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  KawanuaKawanua  Media Fatek OnlineMedia Fatek Online  KAMPUSKAMPUS  

 

 Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin
Admin


Jumlah posting : 549
Registration date : 08.01.08

Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM Empty
PostSubyek: Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM   Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM Icon_minitimeTue May 06, 2008 2:58 pm

Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM


Sekelompok orang Minahasa dan orang bukan Minahasa tapi tinggal dan berbuat untuk Minahasa dengan tekadnya menyelamatkan lingkungan hidup di Tanah Minahasa, berkonvoi, berteriak menggugat dan menolak kehadiran perusahaan tambang asal Australia PT. Meares Soputan Mining (PT. MSM) yang sedang berusaha dengan segala cara untuk melakukan eksploitasi emas di Likupang Minahasa Utara. Alasan penolakan mereka jelas, yaitu demi lestarinya lingkungan hidup di Tanah Minahasa. Namun sayang, di saat yang sama, ada juga sekelompok orang Minahasa dan orang bukan Minahasa yang hidup di tanah Minahasa dan mencari untung di Tanah Minahasa, dengan segala macam cara berusaha mendukung PT. MSM agar bisa beroperasi dan mengambil emas yang adalah kekayaan Tanah ini. Alasan mereka antara lain, kehadiran PT. MSM katanya bisa mengatasi pengangguran dan memberi untung untuk masyarakatnya.

Sementara PT. MSM datang dengan dalih bahwa mereka telah memenuhi prosedur hukum, AMDAL atau kontrak karya yang diteken oleh orang-orang pusat untuk keuntungannya. Soal bahaya pencemaran kata mereka, bisa diatasi. Dan alasan yang kemudian didukung atau memang telah diatur agar mendapat dukungan dari satu dua tokoh masyarakat yang seolah-olah tampil sebagai representasi masyarakat lingkar tambang seperti beberapa orang pendeta, gembala, imam dan bahkan hukum tua, serta organisasi massa yang mendadak hadir atau terbentuk seperti Masyarakat Peduli Investasi (MPI), adalah bahwa kehadiran PT. MSM dapat memberi keuntungan ekonomis kepada masyarakat sekitar tambang, misalnya terekrutnya beberapa orang pekerja di perusahaan itu.

Sebagai catatan, menariknya di Australia ada sebuah sebuah Organisasi Non Pemerintah yang juga bernama MPI, tapi MPI ini singkatan dari Mineral Policy Institute (MPI). Organisasi non pforfit ini berbasis di Sydney Australia, fokus pada monitoring dan kampanye Dampak Pertambangan pada Lingkungan Hidup, Ekonomi dan Sosial Budaya di wilayah Asia Pasific dan Australia. Juga memfokuskan kegiatannya pada monitoring kegiatan dari perusahaan pertambangan Australia yang beroperasi di banyak negara. Berdiri pada tahun 1995, MPI merupakan Organisasi yang berbasiskan pada masyarakat, yang secara ekstensif melakukan jaringan dengan Ornop lain di dunia dan juga dengan masyarakat korban pertambangan seperti di Indonesia , Philippina, PNG, India , China , Australia dan Kepulauan pacific. Dan juga bekerja sama dengan Organisasi-organisasi Lingkungan dan HAM di USA , Canada , Africa , Amerika Latin dan Eropa. Pertambangan menjadi fokus dari konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan raksasa dengan masyarakat lokal terutama 'masyarakat indigenous'. Konflik Pertambangan berkaitan erat dengan banyak isu seperti: keanekaragaman Hayati, Kelestarian Lingkungan, HAM, Perubahan Iklim, perdagangan Bebas dan Globalisasi. (http://users.nlc.net.au/mpi/ indon/mpi_profile.html)

Sementara sikap fraksi-fraksi di DPRD Provinsi Sulut tidak bulat. Ada yang tegas menolak tapi ada uga yang antara ya dan tidak tapi ada yang memang sudah menyatakan sikap menerima. Bahkan para anggota dewan terhormat di Minahasa Utara hampir semua telah menyatakan sikap mendukung. Yang tersisa adalah fraksi PDIP.

Untung kita masih memiliki seorang Sinyo H. Sarundajang, gubernur kita yang hingga sekarang tentu berdasarkan pertimbangan yang matang untuk keselamatan lingkungan hidup dan juga keselamatan jiwa dan raga rakyat, dengan tegas menolak pengoperasian PT. MSM tersebut. Gubernur kita ini, sebetulnya sedang merepresentasi pemimpin Minahasa yang nga’asan, mawai dan Niatean. Seorang pemimpin yang cerdas, berani dan berkomitmen untuk kelestarian kehidupan tanah ini.

Siapa PT. MSM ini? Di situs MPI maksudnya Mineral Policy Institute (bukan Masyakat Peduli Investasi itu), mengutip buku Petaka Pembuangan Tailing ke Laut, diterbitkan oleh JATAM. April 2001, menuliskan, “Meares Soputan Mining adalah perusahaan yang menginduk pada Grup Aurora Gold Ltd, Australia . Saham MSM 85% milik Aurora Gold dan 15% menjadi kuasa Julius Tjahja, Indonesia . Mereka menguasai lahan seluas 741.125 hektar, meliputi daerah Likupang dan Tokang Tindung, di Kabupaten Minahasa, Sulut. Mereka mengantongi izin Kontrak Karya bernomor 43/Pres/86, tertanggal 2 Desember 1986. Saat ini mereka masuk ke tahap konstruksi, dengan mendapatkan jasa konsultan Dames & Moore.” Perhatikan tahun izin Kontrak Karya itu. Ternyata dikeluarkan pada masa-masa orde baru berkuasa, begitu juga dengan PT. Newmont Minahasa Raya dan banyak sekali perusahaan tambang lainnya di Indonesia . Masa di mana kekuasaan masih sangat terpusat di Jakarta , sehingga untungnya juga untuk rezim.

Lalu siapa Minahasa? Minahasa adalah tanah, adat dan kita manusia yang sedang berjuang hidup menatap masa depan di Tanah Adat Minahasa ini. Minahasa bukan hanya nama, tapi dia terutama menunjuk pada suatu cita-cita, yaitu hidup merdeka di atas tanah sendiri yang lestari. Sehingga siapapun dia yang hidup di atas tanah ini: bersosial, berpolitik baik, berekonomi mapalus, berkarakter demokrasi dan egaliter, adalah Tou Minahasa. Minahasa adalah bangsa, di mana manusia-manusia yang hidup di dalamnya, mestinya tidak hanya berpikir sesaat dan sesat tentang dirinya sendiri. Sebab Minahasa adalah semangat yang sedang berproses dan berjuang keras untuk tetap survive sekalipun harus melawan imprealisme dan neolibeliberalisme yang siap menundukkan fisik dan psikhis kita kapan dan dengan cara apapun.

Apa dampak dari pertambangan itu? Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebuah NGO yang sangat konsern pada persoalan lingkungan hidup, melansir di situsnya (http://www.walhi.or.id) beberapa persoalan yang ditimbulkan oleh pertambangan di Indonesia . Menurut Walhi: Pertambangan Menciptakan Bencana Lingkungan, Pertambangan Menghancurkan Sumber-Sumber Kehidupan Masyarakat, Pertambangan Memicu Kekerasan dan Ketidakadilan terhadap Perempuan, dan Pertambangan Memicu Terjadinya Pelanggaran HAM dan Meningkatkan Militerisme.

Beberapa Kasus Pelanggaran HAM yang Sering Terjadi di Sekitar Wilayah Operasi Pertambangan, meliputi:

Penyiksaan, perkosaan, pembunuhan, penculikan, penangkapan secara tidak sah pencarian dan intimidasi, diskriminasi dalam ketenagakerjaan, serta pelarangan beraktivitas.

* Pelanggaran terhadap hak penghidupan secara subsistem yang berasal dari perampasan dan penghancuran ribuan hektar hutan, termasuk wilayah berburu dan berkebun masyarakat, serta kontaminasi sumber air dan wilayah penangkapan ikan, pelanggaran terhadap hak budaya, termasuk penghancuran gunung dan tempat-tempat lain yang bersifat spiritual dan dianggap suci oleh masyarakat adat.
* Pemindahan masyarakat secara paksa dan perusakan rumah-rumah, gereja, dan tempat-tempat tinggal lainnya. Demikian ditulis Walhi.

Tapi dampak lain, misalnya soal hegemoni dan imprealisme yang kebanyakan menjadi semangat perusahaan-perusahaan tambang internasional itu sebenarnya sudah dirasakan oleh pemerintah kita. Kementerian ESDM RI melansir di situsnya (http://menteri.esdm.go.id) soal gugatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke Arbitrase Internasional. Ini dilakukan oleh pemerintah RI karena perusahaan tambang tersebut gagal melaksanakan kewajiban divestasi saham untuk tahun 2006 dan tahun 2007 sesuai dengan perjanjian Kontrak Karya yang ditandangani oleh NNT dan Pemerintah RI pada tanggal 2 Desember 1986. Ini salah satu bukti bahwa sebuah perusahaan tambang internasional besar kemungkinan mempermainkan pemerintah dan masyarakat Indonesia . “Sebagai Negara besar yang berdaulat, Pemerintah RI perlu mengambil langkah arbitrase ini karena Newmont memang tidak pernah menunjukkan itikad baik bahkan seakan-akan sengaja mempermainkan pemerintah dan masyarakat Indonesia …” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro (http://menteri.esdm.go.id/berita_mesdm.php?news_id=536).

Jika begitu Tou Minahasa harus menolak! Kenapa? Selain karena dampak bahaya seperti yang disebut Walhi itu, tapi juga ini soal hak kita untuk menolak, karena tanah ini adalah milik kita, bukan milik negara. Siti Maimunah dari Jatam, memulai tulisannya berjudul Rakyat Dan Lingkungan Mensubsidi Industri Pertambangan dalam http://www.jatam.org dengan mengutip apa yang dikatakan oleh Mama Yosepha, seorang perempuan pejuang dari suku Amungme di pegunungan tengah Papua Barat. Yoshepa Alomang namanya, dia adalah salah seorang dari tujuh tokoh dunia yang menerima penghargaan Goldman Environmental Prize pada tahun 2001.

Begini kata Mama Yosepha: “Sejak kapan negara bikin tanah, air, ikan dan karaka lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya?” Kalimat Mama Yosepha ini menjawab pertanyaan klaim negara terhadap tanah milik masyarakat adat. Kalimat itu menarik untuk merefleksikan arti tanah, identitas dan hidup kita Tou Minahasa di sini dan kini. Ternyata gugatan dan penolakan Mama Yosepha terhadap kehadiran PT. Freeport di tanahnya itu lebih ke soal kesadarannya terhadap arti tanah untuk sebuah identitas bagi kehidupan turun temurun.

Tanah, akhirnya harus kita sebut sebagai anugerah Tuhan, yang bisa kita sapa dengan berbagai nama itu. Secara teologis tanah yang adalah anugerah itu kodratnya adalah untuk kita manusia, untuk diolah dengan baik demi kehidupan kita. Sehingga menjadi berdosa kalau kemudian kita harus menyerahkan tanpa syarat tanah kita kepada negara. Sebab negara adalah bentukan kita sendiri, dan dia sangat berbeda dengan tanah dan kita manusia yang adalah anugerah dan ciptaan Tuhan. Kecuali memang kalau akhirnya kita telah menjadi orang yang tak berTuhan dan kemudian menyembah negara sebagai penguasa. Saya pikir kita di sini masih berTuhan, sehingga masih religius dan rasional untuk tidak secara gampang menyerahkan tanah milik kita yang diberikan Tuhan kepada kapitalis yang bersekokongkol dengan negara.

Tapi juga kita perlu merasa kasihan kepada negara ini yang tidak berdaya kepada kekuatan pasar. Ini antara lain karena negara kita lebih mengandalkan kekuasaannya yang terpusat ketimbang bersinergi dengan daerah-daerah untuk memperkuat posisi negara dalam berhadapan dengan pasar bebas dan globalisasi. Sayang sekali memang, sentralisme selama 32 tahun dan masih berlanjut hingga sekarang akhirnya memakan korban masyarakat daerah.

Sekali lagi, ini soal tanah, yang adalah hak kita, untuk kita olah sendiri demi kehidupan kita sampai di masa depan. Karena tanah yang lestari merepresentasi kehidupan kita yang lestari. Mestinya, untuk cita-cita itu, kita Tou Minahasa bersatu, berMinaesa, untuk menjaga dan melestarikan tanah ini demi kehidupan kita yang pakatuan dan pakalewiren. Siapa lagi yang kita harapkan menjaga tanah ini kalau bukan kita, TOU MINAHASA!
Ref. Sulut Link
Penulis, Tou Minahasa
Kembali Ke Atas Go down
https://alumnifatek.indonesianforum.net
 
Tanah Minahasa adalah Milik Kita, Bukan untuk MSM
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Tondano Minahasa
» Korah: Mari Kita Dukung Kerja Pak Sarundajang
» Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi
» PTN Kita Mahal dan Tak Akuntabel

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
www. alumnifatek.forumotion.com :: KATAGORI BERITA :: Manado & Sulut-
Navigasi: