Admin Admin
Jumlah posting : 549 Registration date : 08.01.08
| Subyek: Sekolah Berlabel Internasional Sat Jun 12, 2010 9:13 am | |
| Sekolah Berlabel Internasional Kompas, Sabtu 12 Juni 2010Sejenak mari kita belokkan perhatian. Alih-alih pelengkap keasyikan bergosip video porno, praksis pemerintahan yang berakhir tanda tanya, dan gegar Piala Dunia 2010.
Lima tahun sudah diselenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar dan menengah, umum dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI), sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status sekolah reguler.
Benar kritik RSBI menciptakan kastanisasi sekolah. Benar harapan agar RSBI tidak dijadikan merek dagang menjual sekolah. Kritik dan harapan sebaiknya tidak dianggap sepi, tidak digolongkan ekses. Membiarkan berarti menaruh pupuk berkembangnya benih kecurigaan.
Rencana evaluasi RSBI hendaknya tidak selesai dengan membereskan ekses. Tidak hanya menyangkut penarikan dana dan kriteria penilaian, tetapi juga maksud dasar kebijakan RSBI. Setiap era selalu ada eksperimen, di antaranya yang serba unggul dengan beragam nama, seperti sekolah unggulan, pembangunan atau teladan, dan sekarang bertaraf internasional.
Era globalisasi menjadi batu sendi dan pemicu kebijakan RSBI. Salah satu cirinya bahasa pengantar Bahasa Inggris. Muaranya hasil lulusan dan praksis pendidikan setaraf internasional. Syarat terpenting perbaikan prasarana dan sarana belajar, termasuk faktor guru.
Ujung-ujungnya duit. Perlu droping dana khusus, seperti tahun 2008-2010 setiap SMP berstatus RSBI Rp 300 juta per tahun dan setiap SMA RSBI Rp 300 juta-Rp 600 juta. Begitu RSBI dinyatakan SBI, dana dihentikan. Sekolah dianggap sudah memenuhi empat kriteria: infrastruktur, guru, kurikulum, dan manajemen.
Sekolah ibarat barang dagangan seiring dengan pemberlakuan standar tunggal manajemen ISO. Dengan standar itu, tanpa disadari, bukan juga ekses, tercipta kastanisasi sekolah seperti yang dikritik kolumnis Darmaningtyas, mulai dari yang internasional hingga pinggiran—bersaing dengan swasta internasional yang makin bertebaran di kota besar atas nama usaha bisnis.
Kita tidak ingin terjebak dalam pola eksperimen masa lalu. Pembukaan UUD 45 mengamanatkan mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga—yang berkemampuan finansial—melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Kita dukung kebijakan mengatasi masalah distribusi guru. Sekadar contoh, meskipun tidak mudah, kemudahan mutasi guru antarprovinsi setidaknya merupakan terobosan, mengingat 68 persen sekolah di perkotaan kelebihan guru dan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.
Kenyataan hampir 65 tahun merdeka, tetapi masih jutaan anak bersekolah di bawah cibiran ”kandang ayam”, tentu lebih perlu prioritas daripada membangun sekolah unggulan bertaraf internasional. Sekalian mencegah, jangan sampai ”bertaraf internasional” menjadi sekadar ”bertarif internasional”!
Privasi dan Panggung Dunia
Luar biasa gelombang yang ditimbulkan oleh beredarnya video syur mirip artis. Wacana tentang hal itu menghiasi berbagai rapat dan pertemuan.
Di rumah, warung kopi, dan bahkan di kantor isu itu menjadi bahasan. Sementara itu, yang mengunduh videonya tidak bisa lagi dibatasi hanya di kota besar di Jawa, tetapi bahkan hingga Papua. Dari sisi usia, terdengar kabar siswa-siswi berbondong ke kios internet untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Ulasan ini, tanpa menukik ke aspek moralitas, ingin menegaskan kenyataan, apa yang semula kita andaikan sebagai domain privasi, oleh satu aksi yang disengaja atau tidak, lalu tampil di panggung teknologi informasi-komunikasi (TIK) dunia. Internet menjadi media utamanya.
Bagaimana kita memandang soal privasi ini pada era digital? Pernah CEO Sun Micro System Scott McNealy dikutip mengatakan, ”Privacy is dead, deal with it.” Yang lain menambahkan, privasi pada era digital tidak mati seperti diyakini McNealy, tetapi sudah kritis.
Tak diragukan, hilangnya privasi karena generasi milenium digital sudah melakukan apa yang McNealy katakan, ”Deal with it”, menerima perkembangan baru ini. Bahkan, ada yang memeluknya (embrace it). Individu yang membeberkan apa yang dia lakukan dalam blognya atau dalam status Facebook-nya sehingga orang lain tahu secara detail apa yang dia lakukan jelas telah merelakan privasinya—seperti yang kita tahu selama ini—untuk berubah menjadi informasi publik. Apa yang semula merupakan rahasia pribadi kini menjadi pengetahuan publik.
Namun, di luar yang bersifat sukarela, ada yang sebenarnya tetap ingin dijaga sebagai rahasia, tetapi lalu lepas—bisa karena dicuri—dan terbeber di ranah publik. Celakanya, pada era digital, informasi rahasia menyebar tidak sebatas kampung atau kota asal, tetapi ke seluruh penjuru dunia. Pada era digital, sebarannya juga dalam wujud multimedia yang hidup.
Kejadian video syur yang menghebohkan selama sepekan terakhir bisa terjadi pada era digital sekarang ini karena TIK memungkinkan pihak tertentu mendapatkan informasi tentang seseorang ada di mana, membeli apa, dan berkehidupan seperti apa. Informasi yang diperoleh tadi dikumpulkan, disimpan, dan disebarkan/dibagi dalam skala yang—menurut majalah The Economist—tak terbayangkan bisa dilakukan oleh diktator zaman dulu.
Situasi yang ada dilukiskan Simson Garfinkel dalam bukunya, Database Nation, di mana ia menyatakan, ”Privasi kita sedang diserang.” Yang menjadi soal, ”Kita tidak tahu bagaimana harus menyerang balik.” Harusnya kita memasang lapis baja digital bagi diri kita, usul Brock Meeks.
David Brin dalam Transparent Society masih menyebut transparansi tetap harus menyiratkan keteduhan di rumah dan terpeliharanya hak untuk sendiri. Namun, seperti dibuktikan oleh meluasnya video syur mirip artis, masih mungkinkah itu? | |
|