www. alumnifatek.forumotion.com
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www. alumnifatek.forumotion.com


 
IndeksIndeks  PortailPortail  PencarianPencarian  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  Login  KawanuaKawanua  Media Fatek OnlineMedia Fatek Online  KAMPUSKAMPUS  

 

 Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin
Admin


Jumlah posting : 549
Registration date : 08.01.08

Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto Empty
PostSubyek: Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto   Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto Icon_minitimeMon Jan 28, 2008 3:11 pm

Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto


Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto 28sabamt
Sabam Siagian
Dalil klasik yang menandaskan bahwa tujuan politik luar negeri sebuah ne- gara adalah mengamankan dan mengembangkan kepentingan nasional, agaknya dicamkan benar oleh Presiden Soeharto. Hal ini terungkap dalam suatu konferensi pers di udara, dengan kami para wartawan yang meliput kunjungan Presiden RI ke Uni Soviet pada September 1989.

Peristiwa tersebut merupakan kunjungan bersejarah. Jenderal Soeharto yang dikenal antikomunis, memutuskan sudah tiba waktunya mengadakan kunjungan resmi ke negara komunis penting, antara lain karena persenjataan nuklir yang dimilikinya, yakni Uni Soviet. Memang perkembangan politik dalam negeri yang menarik sedang terjadi di Soviet dengan kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Ia mereformasi politik dengan menerapkan perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan).

Karena relevansi sejarah dari kunjungan ke Moskwa itu, beberapa redaktur senior ikut serta dalam rombongan wartawan, antara lain Jakob Oetama (Harian Kompas), Fikri Jufri (Mingguan Tempo), dan Toeti Adhitama (Bulanan Eksekutif). Saya sendiri ikut sebagai pemimpin redaksi harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.

Kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet tampaknya untuk menggarisbawahi politik luar negeri RI yang bebas dan aktif, supaya jangan sampai dinilai terlalu berpaling ke blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam kaitan itulah Fikri Jufri bertanya dengan suara yang agak tegang, "Apakah kunjungan ini berarti bahwa politik luar negeri Indonesia sekarang lebih tegas dibandingkan dulu?".

Karena saya berdiri dekat Soeharto yang duduk, saya lihat dia agak kesal menampung pertanyaan rekan itu. "Politik luar negeri kita selalu tegas. Tapi kita selalu harus ukur kekuatan kita. Tidak guna kita berteriak-teriak, tapi kekuatan kita kecil," kira-kira demikian jawaban Presiden.

Wawancara kami tersebut, mungkin kira-kira di atas wilayah udara Kuwait, lebih dikenang sebagai konferensi pers ketika Presiden Soeharto mengancam akan "menggebuk" siapa saja yang mau mendongkel posisinya dengan cara inkonstitusional.

Namun, keterangannya terhadap pertanyaan Fikri Jufri saya selalu ingat, karena mengungkapkan realisme seorang Soeharto dalam menangani politik luar negeri RI. Harian The Jakarta Post, dalam laporannya tentang jawaban Presiden Soeharto itu, pada edisi Kamis, 14 September 1989 mengutip ucapannya bahwa, "politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia." Katanya, "Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi."

Kutipan-kutipan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris itu dapat menjadi pangkal tolak untuk meninjau sekilas, tanpa riset yang mendalam, tentang perkembangan politik luar negeri RI sejak Jenderal Soeharto memerintah, baik sebagai pejabat Presiden, maupun sebagai Presiden sejak 1968.

Mengakhiri Konfrontasi

Sulit bagi generasi sekarang membayangkan bahwa Indonesia pernah dalam situasi perang dengan Singapura dan Malaysia, tanpa suatu pernyataan perang yang formal. Demikianlah megalomanianya Presiden Soekarno yang tidak "berkenan" terhadap pembentukan negara Malaysia, karena mencurigainya sebagai tipu muslihat imperialisme Inggris untuk mengepung RI.

Pasukan-pasukan tempur disiapkan di Sumatera Timur dan Kalimantan Barat, yang siap mendarat di Semenanjung Malaya dan Singapura. Dengan sendirinya, persiapan perang ini merupakan beban ekonomi yang berat.

Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberikan cukup wewenang bagi Jenderal Soeharto, mulai dilakukan usaha mengakhiri konfrontasi, yang pada awalnya secara diam-diam tanpa diketahui Presiden Soekarno. Peranan Menteri Luar Negeri Adam Malik dan beberapa tokoh militer, antara lain Ali Moertopo dan Benny Moerdani patut dicatat. Juga kelincahan seorang Des Alwi di Kuala Lumpur yang mengenal secara pribadi tokoh-tokoh pimpinan Malaysia patut dihargai.

Alhasil, dalam suatu upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, konfrontasi diakhiri secara formal. Tampak dalam upacara tersebut Jenderal Soeharto dalam seragam militer. Tanpa keputusan dan dukungannya tidak mungkin konfrontasi diakhiri.

Aktif di PBB

Lagi-lagi karena karakter Presiden Soekarno yang suka meledak-ledak, dia putuskan pada akhir 1964 atau awal 1965, supaya RI keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Rupanya dia terlambat diberitahu bahwa Malaysia dipilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Indonesia yang menjadi anggota ke-60 ketika diterima dalam Sidang Umum PBB pada September 1950 (setelah konflik dengan Belanda dapat diselesaikan), merupakan anggota pertama yang menyatakan keluar dari organisasi dunia tersebut.

Jelas, setelah terjadi perubahan politik di dalam negeri dan prioritas pertama adalah pemulihan ekonomi, sulit dipertahankan bahwa Indonesia terus terisolasi dari kegiatan hubungan internasional. Untunglah, ada orang pintar di Departemen Luar Negeri yang pandai merumuskan surat pemberitahuan keputusan Presiden Soekarno itu kepada Sekjen PBB, U Thant. Surat pemberitahuan itu tidak menyatakan bahwa RI "keluar dari keanggotaan di PBB", tetapi merumuskan bahwa "untuk sementara RI tidak mampu melakukan kegiatan sebagai negara anggota PBB".

Karena itu, pada Sidang Umum PBB tahun 1966, tidak begitu sulit bagi delegasi Indonesia yang dipimpin Menlu Adam Malik untuk aktif kembali. Dalam surat pemberitahuan kepada Sekjen PBB, dinyatakan bahwa, "sekarang RI sudah dalam posisi untuk aktif kembali di PBB".

Mendobrak isolasi internasional itu penting, supaya program bantuan ekonomi untuk Indonesia dapat digerakkan. Meskipun dikabarkan, Presiden Soekarno marah-marah ketika mendengar RI aktif kembali di PBB, namun ia terpaksa pasrah, karena Jenderal Soeharto mendukung keputusan tersebut.

Penyelesaian Utang-utang

Masalah yang memusingkan yang diwarisi dari periode Demokrasi Terpimpin-nya Presiden Soekarno, adalah gumpalan utang dalam berbagai jenis ke sejumlah negara, baik blok barat maupun blok komunis (terutama untuk membeli senjata). Keputusan untuk menyelesaikan utang-utang ini bukan saja merupakan masalah teknis-finansial, tetapi masalah politik. Artinya, Indonesia mengakui beban utang itu dan menyatakan ingin menyelesaikan sesuai jadwal yang disepakati.

Sulit menyelenggarakan politik luar negeri yang diakui kredibilitasnya sebagai negara terhormat, kalau masalah utang didiamkan saja. Keputusan politik itulah yang didukung Jenderal Soeharto. Ternyata, justru urusan utang dengan Uni Soviet yang rumit untuk diselesaikan, sehingga perlu waktu lama. Dalam kunjungan resmi ke Uni Soviet, September 1989, Presiden Soeharto mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah atas bantuannya dalam perjuangan merebut kembali Irian Barat (sekarang Papua) pada awal 1960-an.

IGGI

Rehabilitasi ekonomi Indonesia yang berantakan sebagai warisan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dengan inflasi sampai 600 persen, memerlukan bantuan internasional secara sistematis dan berkelanjutan. Bank Dunia yang dipimpin Robert McNamara (mantan Menteri Pertahanan AS), mulai memperhatikan perekonomian Indonesia atas usaha Duta Besar Soedjatmoko. Mereka berdua menjalin persahabatan pribadi. Maka terbentuklah kelompok negara-negara sahabat yang bersedia membantu pembangunan Indonesia.

Belanda berperan sebagai pengundang dan moderator, karena dianggap cukup mengetahui kondisi Indonesia. Kelompok negara-negara pendukung ini dinamai Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Berbagai proyek pembangunan Indonesia dalam rangka Rencana Pembangunan Lima Tahun disodorkan untuk memperoleh komitmen bantuan. IGGI amat membantu citra Indonesia sebagai negara yang menyelenggarakan politik luar negeri bersahabat dengan sejumlah negara.

Namun, ketika pada akhir 1980-an atau awal 1990-an, se- orang menteri Belanda, Jan Pronk, yang bertugas di bidang bantuan internasional dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia, cenderung menge- luarkan pernyataan-pernyataan kritis tentang situasi politik dalam negeri, Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda.

ASEAN

Tanpa diragukan, peristiwa amat penting dalam perkembangan politik luar negeri Indonesia selama kepemimpinan Presiden Soeharto adalah pembentukan organisasi kerja sama lima negara Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Indonesia. Organisasi itu disebut Association of South East Asia Nations (ASEAN). Dapat dikatakan, pembentukan wadah kerja sama ini adalah kelanjutan logis dari berakhirnya konfrontasi.

Namun, rapat-rapat persiapan di Bangkok pada Agustus 1967 itu sungguh alot. Bagaimanapun, suatu suasana curiga terhadap Indonesia masih ber- bekas.

Adalah prestasi Menlu Adam Malik yang dapat meyakinkan rekan-rekannya bahwa Indonesia di bawah Orde Baru adalah Indonesia yang ingin bersikap konstruktif. Dan pemimpin baru yang muncul, Jenderal Soeharto, bukanlah mewakili kelompok militer yang agresif, tetapi malahan sebaliknya.

Perkembangan ASEAN memang lamban. Tahap demi tahap kerja sama regional dibangun. Akhirnya konflik Vietnam berakhir dengan munculnya Vietnam bersatu.

Dalam periode purnaperang Vietnam ini, pertemuan puncak pertama ASEAN di Bali pada Februari 1976 merupakan tonggak sejarah bagi ASEAN, juga bagi politik luar negeri RI sebagai tuan rumah, dan bagi Presiden Soeharto yang secara meyakinkan memperlihatkan peranannya sebagai negarawan yang merasa bertanggung jawab atas stabilitas di Asia Tenggara.

Hal yang juga merupakan tonggak sejarah sepanjang perkembangan ASEAN dan peranan Indonesia serta prestise Presiden Soeharto di kalangan para pemimpin ASEAN, adalah pertemuan puncak ke-3 ASEAN di Manila pada Desember 1987. Situasi politik dan keamanan di Manila waktu itu cukup genting. Presiden Corazon Aquino selamat dari usaha kup. Pertemuan puncak akhirnya jadi dilangsungkan atas dorongan Indonesia yang ikut mengatur pengamanan kota Manila.

Pidato PM Singapura Lee Kuan Yew menandaskan bahwa sempat timbul keraguan, apakah pertemuan puncak di Manila ini akan berlangsung atau diundur? Tapi ketika Presiden Soeharto menyatakan, "Mari kita pergi. Maka kita pun mengikuti keputusan Pak Harto."

Lee Kuan Yew bukanlah orang yang mudah memuji. Ucapannya melalui pidato secara terbuka di forum pertemuan puncak ASEAN itu mengungkapkan kepercayaan dan respek anggota ASEAN pada waktu itu terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto dari Indonesia.

Non-Blok dan APEC

Sekadar melengkapi gambaran sekilas ini, kita perlu menyebut paling sedikit dua peristiwa internasional, di mana Indonesia berperan sebagai tuan rumah. Meskipun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok dapat dikatakan suatu peristiwa internasional yang cenderung "ramai-ramai" saja, makna politiknya penting bagi RI.

Paling sedikit untuk menyatakan bahwa jangkauan politik luar negeri Indonesia luas dan tidak bergantung pada Barat. Sejumlah tokoh datang ke pertemuan ini, antara lain Yasser Arafat mewakili Palestina.

Selain Non-Blok, pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994, juga patut dikemukakan. Pembentukan wadah Asia Pasifik itu diprakarsai Australia. PM Paul Keating amat antusias tentang APEC.

Dugaan saya, dia melihatnya sebagai jembatan supaya posisi Australia jangan sampai terisolasi di kawasan Asia Pasifik. Dalam mempersiapkan pertemuan puncak di Bogor, PM Keating menerangkan kepada saya (pada waktu itu saya bertugas sebagai Duta Besar RI di Canberra, Australia), amatlah penting bahwa Amerika Serikat tetap berminat pada perkembangan di kawasan kita ini. Bahwa Presiden Bill Clinton datang ke Bogor, karena AS adalah anggota APEC, merupakan prestise bagi tuan rumah Indonesia, dan kehormatan khusus bagi Presiden Soeharto.

Sekadar Renungan

Demikianlah beberapa jepretan (snapshots) dari tahap-tahap perkembangan politik luar negeri nasional, ketika Presiden Soeharto memimpin Republik Indonesia. Politik luar negeri tentunya tidak melulu terdiri dari serentetan konferensi internasional atau pertemuan puncak. Begitu banyak peristiwa, rapat-rapat tertutup dan tukar-menukar memorandum yang bersifat rahasia di balik layar.

Namun, serangkaian peristiwa yang digoreskan tersebut, sedikit banyak menggambarkan volume hubungan internasional yang luas cakupannya selama Presiden Soeharto memimpin selama lebih dari 30 tahun.

Justru gambaran itu membuat perkembangan pada tahun 1997 dan 1998 sebagai kejadian yang sungguh tragis. Krisis moneter mungkin tidak dapat dihindari. Namun, dampaknya yang parah agaknya dapat dilunakkan kalau beberapa negara dan lembaga keuangan internasional bersedia membantu.

Dari berbagai sumber saya peroleh keterangan, ketika rencana International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) ternyata tidak begitu efektif, ada usaha beberapa negara sahabat untuk "menyelamatkan" Indonesia. Rupanya ada reaksi, kalau menyelamatkan Indonesia berarti juga menyelamatkan posisi Presiden Soeharto, maka tunggu dululah.

Kredibilitas Soeharto ternyata pada saat itu sudah jatuh. Sudah diambil kesimpulan di beberapa ibu kota negara penting, bahwa Soeharto tidak mampu atau tidak mau mengekang korupsi. Dan pembangunan politik menuju demokrasi mandek.

Dengan demikian, sungguh ironis bahwa apa yang dikemukakannya dalam konferensi pers di pesawat pada September 1989 ketika pulang dari Moskwa menuju Jakarta juga mengandung aspek negatif yang ternyata fatal.

Pada akhir 1990-an itu, ternyata stabilitas politik dan stabilitas ekonomi dalam negeri sudah keropos, sehingga bobot Indonesia di panggung internasional sudah melemah. Dan posisi Presiden Soeharto tidak dapat diselamatkan lagi.

Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Harian "Suara Pembaruan"


Kembali Ke Atas Go down
https://alumnifatek.indonesianforum.net
 
Politik Luar Negeri Di Tangan Soeharto
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Alumni Luar Negeri Aset Siapa?
» Pertarungan Politik Obama-Hillary
» Mantan Presiden Soeharto Meninggal
» HM SOEHARTO In Memoriam - 1921-2008
» Soeharto, Mangkat Dalam Kebesaran

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
www. alumnifatek.forumotion.com :: KATAGORI BERITA :: Internasional-
Navigasi: